Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Bahasa, Komunikasi, dan Ilusi Validasi
11 jam lalu
***
Ahmad Wansa Al-faiz
Ahmad Wansa Al-faiz.
Kita sering mengira bahwa komunikasi adalah ilmu yang kokoh, seakan-akan ia memiliki asas epistemik yang jelas. Padahal, komunikasi lebih tepat disebut fenomena sosial yang retoris ketimbang disiplin dengan validasi objektif. Berbeda dengan linguistik yang menelaah struktur bahasa secara ketat, komunikasi justru bekerja dengan tafsir yang cair, bergeser sesuai konteks sosial. Karena itu, komunikasi rentan dianggap hanya sebagai omon-omon belaka.
Puisi Chairil Anwar memberi contoh yang baik. Puisinya meski sarat sarkasme, pilihan kata kasar, dan stigma pejoratif, ia tetap merupakan ekspresi kecerdasan linguistik. Namun dalam bingkai komunikasi, karya seperti itu bisa dinilai tidak etis atau bahkan dianggap meresahkan. Pertanyaannya: apakah komunikasi benar-benar berhak memonopoli penilaian atas bahasa?
Bahasa sebagai Kapasitas Kognitif
Howard Gardner melalui teori Multiple Intelligences menempatkan kecerdasan linguistik sebagai salah satu kemampuan dasar manusia untuk menggunakan simbol dan bahasa[1]. Dalam ranah ini, bahasa dilihat sebagai struktur kognitif yang bisa diukur: diksi, sintaksis, ritme, dan logika internalnya.
Puisi Chairil Anwar jelas sah secara linguistik, Pilihan katanya presisi, imajinasinya tajam, dan retorika sarkastiknya justru memperlihatkan kapasitas kreatif. Bahkan jika orang menganggapnya kasar, secara kognitif ia tetap produk jenius. Dengan kata lain bahasa punya otonomi dari tafsir sosial.
Retorika Sosial yang Cair
Komunikasi berbeda sifatnya. Ia tidak memeriksa struktur, melainkan menimbang reaksi audiens . Karena itu, komunikasi cenderung subjektif . Apa yang sah secara bahasa bisa ditolak karena tidak sesuai norma.
Fenomena pasar dapat menjelaskan ini :
- Iklan awal: “Gorengan Mbak Jum enak, hanya seribu rupiah.”
- Tafsir sosial bergeser: “Mbak Jum enak cuma seribu rupiah.”
Secara linguistik, kedua kalimat berbeda makna; yang kedua bahkan menyimpang. Namun secara komunikasi, ia bisa viral, “menghibur,” bahkan efektif menarik perhatian. Inilah bukti bahwa komunikasi kerap bekerja dengan deviasi, bukan validasi[2].
Maka benar jika ada yang menyebut komunikasi itu pseudoscientific, sebab ukurannya bukan logika, melainkan tafsir sosial yang berubah-ubah.
Konsekuensi Hukum-Etis
Bahasa tidak berhenti pada estetika dan komunikasi; ia masuk ke ranah hukum. Tetapi problem muncul ketika hukum menafsir bahasa secara berlebihan . Ujaran kasar, misalnya, sering diperlakukan setara dengan kejahatan berat. Padahal secara rasional, sanksinya mestinya proporsional. Bahasa dibalas bahasa.
Kritik → dibalas kritik.
Sarkasme → dibalas sarkasme.
Bukan kritik lalu dijerat pidana.
Di sinilah kita butuh membedakan tiga domain : bahasa (objektif), komunikasi (sosial), dan hukum (normatif). Campur aduk antar-domain hanya melahirkan ketidakadilan.
Diagram Konseptual
[ Hukum-Etis ]
(Normatif)
▲
│
[Linguistik] ◄───────┼───────► [Komunikasi]
(Kognitif) │ (Sosial)
Objektif Subjektif
Diagram ini memperlihatkan bahwa setiap domain punya otonomi sendiri. Jika linguistik dipaksa tunduk pada komunikasi, atau hukum mendasarkan diri pada tafsir komunikasi yang cair, maka bahasa kehilangan keadilannya.
Penutup
Bahasa adalah wujud kecerdasan manusia yang otentik. Komunikasi hanyalah tafsir sosial atas bahasa, sedangkan hukum berfungsi menjaga proporsionalitasnya. Sayangnya, sering kali komunikasi yang rapuh epistemiknya justru menjadi hakim bagi bahasa, dan hukum kemudian ikut-ikutan bersikap represif.
Belajar dari Chairil Anwar, kita harus berani membedakan, bahwa bahasa itu objektif, komunikasi itu relatif, hukum itu normatif. Jika ketiganya ditempatkan sesuai domainnya, maka ekspresi bahasa bisa dijaga tanpa menimbulkan represi sosial maupun hukum.
Catatan Kaki
[1]: Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983).
[2]: Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action (Boston: Beacon Press, 1984), membahas perbedaan komunikasi sebagai konsensus normatif versus bahasa sebagai sistem simbolik.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler